Saturday, March 2, 2013

Ini Ceritaku, Tentang Jogja!



Kembali ke kota asalku, bukan lagi bersama keluarga melainkan bersama teman-teman seperjuangan benar-benar memberikan warna baru. Hal-hal yang semula hanya berupa ekspektasi untuk pergi bersama-sama dengan teman-teman seperjuangan dan satu visi denganku, terutama keluarga kecilku, ya kami, Degaduh (Desain Grafis A 2010), setelah adanya lampu hijau dari orangtuaku, kesempatan ini tidak akan kusia-siakan. Yang akan menjadi pendamping kami di dalam bis selama menuju kampung halamanku dan pulang dari kampung halamanku ialah Pak Eko Pranoto dan Pak Mamin Saputra. Selain itu di dalam bis kami juga ada mahasiswa dari grafika A pagi.

Pagi itu, 11 Februari 2013. Yang kuingat, semalamnya aku menghabiskan waktu untuk bergadang hingga tengah malam. Hingga saat berangkat menuju Depok dengan menaiki kereta commuter line yang pada pagi itu masih amat sepi, pikiranku nyaris kosong. Ya karena kurang tidur. Di pikiranku, toh nantinya bisa tidur kan? Lama lagi.

Tetapi ekspektasi bodoh tersebut sirna ketika aku mendapatkan teman duduk yaitu Nisfi. Tingkahnya sesama tolol sepertiku. Banyolan yang kukeluarkan lantas saja membuat kami terus terjaga sepanjang perjalanan. Ditambah lagi video dangdut yang ditampilkan oleh pak kondektur, dimana di videonya ditampilkan talent-talent yang posenya menggelikan, dan itu seakan minta diledek! Sungguh, video tersebut menjadi pokok ide bahan tertawaan kami. Padahal di kala itu, satu bis kami sudah pada terlelap dan hanyut di dalam mimpi masing-masing. Buat yang lagunya kami tertawakan, maaf ya. Temanku di jurusan lain yang sudah pernah melakukan studek pernah berkata kalau yang biasanya tidak mabuk saat perjalanan bisa saja mabuk, ya seperti dia itu. Agak merasa tertantang pas dia bilang begitu, masa sih aku akan mabuk? Selemah itu kamu, Lit?

Memang dasar ya kalau masuk ke dalam bisnya sudah terlambat, pasti dapat duduknya juga akan yang sisaan. Jreeng! Tinggal di depan tempat duduk kosongnya. Tidak sisa sih, hanya saja Rizka yang menyuruhku duduk di depannya. Dan aku baru tahu, kalau duduk di depan itu akan mengurangi potensi untuk mabuk karena dekat dengan kaca depan. Berarti aku tak akan jadi lemah kan? Tak perlu minum antimo-antimo-an kan? Hehe.

Perjalanan jauhku bersama keluargaku dengan mobil pribadi sebelum-sebelumnya terasa amat memuakan. Duduk bersama barang-barang, dengan jalanan yang berliku-liku, dengan tempat duduk sekecil itu, dan dengan jarak tempuh yang lama seakan menjadi kiamat kecil yang membuatku ngeri jika membayangkan perjalanan studek kali ini. Lima jam perjalanan pertama, aku masih menikmati perjalanan tersebut. Aku nikmati pemandangan alam.. ya termasuk juga, berbagai media publikasi dari para calon gubernur Jawa Barat. Ini sisi uniknya. Ketika telah keluar dari kota Jakarta, terasa sekali perbedaan kulturnya. Masa iya, ada kafe dan tempat karaoke beberapa rumah sekali? Dan tempat karaokenya hanya berupa rumah sangat sederhana, beda sama di Jakarta yang didesain semaksimal mungkin untuk menarik perhatian pengunjung, dan jaraknya agak saling berjauhan. Aku sama Nisfi sudah berpikir yang aneh-aneh. Pasti di tempat tersebut ada plus-plusnya. Hahaha.

Terus, sepanjang jalan di Jawa Barat itu, aku sulit sekali menemukan media promosi yang 'eye-catching'. Mungkin karena lagi melewati daerah perkampungan kali, ya? Sekalinya ada digital printing, rasanya mau murkai si pemiliknya. Kalau kata anak sekarang, "Ih alay banget sih.". Secara, desainnya itu pakai warna yang kontras dan tak enak dilihat. Padahal aku sudah berharap banyak pada digital printing tersebut, tapi ya sudahlah. Biarpun kukata media promosinya kurang 'eye catching', tapi ada hal kecil namun besar yang menarik perhatianku, apalagi kalau bukan banner-banner kecil yang dipasang di tiang-tiang sepanjang jalan. Banner bergambar tiap kandidat gubernur Jawa Barat menghiasi jalanan Jawa Barat yang amat panjang itu. Desainnya pun beragam, ada yang menurutku 'nggak banget', ada juga yang sudah sesuai standar desain yang sering kutemui di Jakarta. Pikirku, mungkin mereka tidak meminta bantuan desain sama desainer grafis.

Ketika tiba waktunya tengah hari, kami beristirahat di sebuah tempat makan yang bernama Pringsewu! Lho, ini bukannya ada dimana-mana ya? Saat kupergi ke Solo dulu dengan jalur darat, banyak petunjuk-petunjuk tentang Pringsewu berapa meter lagi. Tapi ketika sudah sampai di meter yang ditunjukan, aku tidak melihat apa-apa. Mungkin waktu itu sedang tidak beruntung. Dan akhirnya sekarang rasa penasaranku terjawab. Akhirnya makan di Pringsewu. Menu makanan kami kala itu prasmanan. Ekspektasiku itu, makan prasmanan sama dengan bisa ambil porsi seenaknya, seperti di hotel bintang lima, dan menunya pun beragam. Ternyata tidak! Menu yang ditawarkan telah disesuaikan dengan budget kami dan untuk menu ayam sudah dibatasi oleh pelayan.

Ada yang unik dari Pringsewu. Pihak rumah makan ternyata sudah mensiasati cara penjualan mereka dengan menspesialkan para pengunjung yang berulang tahun di bulan itu. Kala itu bulan Februari, sehingga Ela dan Nisfi mendapatkan sebuah kejutan ulang tahun yaitu permainan orkes angklung bermusikan 'Happy Birthday' yang lantas saja menarik perhatian kami semua. Selain itu, mereka mendapatkan menu tambahan yaitu jus buah sebagai tanda hadiah ulang tahun.

Setelah melakukan ishoma di Pringsewu, kami melanjutkan perjalanan. Mulanya aku ingin melanjutkan tidurku yang tertunda, namun ketika telah keluar dari wilayah Jawa Barat dan menuju Jawa Tengah, suasana horor pun menghantui. Tunggu dulu, tidak ada kuntilanak atau pocong atau tuyul atau segala setan yang menjadi mitos negeri ini, hapus semua pikiran tersebut. Hujan yang lebat, saat menengok ke kiri atau kanan pun yang terlihat adalah sawah-sawah, dan ketika melihat ke depan.. Ups! Ini sensasinya keluar kota melalui jalur darat! Jalan-jalannya berlubang. Lubangnya tidak sekadar lubang, tapi dalam, dalam, dan cukup dalam. Aku yang notabenenya duduk di atas ban dan di dekat jendela ini merasakan kalau degupan jantungku terasa lebih cepat. Bayanganku sudah amat mengerikan. Dimana ketika pak supir tidak bisa menghindari lubang-lubang tersebut dan bis kami jatuh ke area sawah. Hii, naudzubillahibindzalik! Pikiran parnoku terus menghantui dan akhirnya aku memutuskan untuk menidurkan tempat dudukku ke belakang. Ternyata Yunita yang duduk di belakangku juga sama takutnya denganku.

Alhamdulillah menjelang maghrib, kami berhasil melewati jalan-jalan menyeramkan itu. Ada yang seru dari perjalanan studek kali ini. Di dalam bis, ternyata panitia telah menyiapkan kuis yang ada doorprizenya untuk kami. Untuk mendapatkan hadiah tersebut, kami harus mengikuti kuis gombal-gombalan. Kuis ini dimulai dari anak laki-laki yang menggombali anak perempuannya. Kudengar seru sekali permainan itu, maka aku memutuskan untuk turut serta dalam permainan tersebut. Iseng-iseng untuk melatih kemampuan bermain kata dan juga wawasan. Seusaiku menggombali salah satu anak kelasku, keriuhan terdengar dari tiap sudut di bis kami. Mereka nampak bahagia dan aku terus berpikir, "Tadi aku ngomong apa...".

Singkat cerita, permainan tersebut berakhir ketika kami tiba di Pringsewu cabang lainnya untuk melakukan shalat maghrib dan makan malam. Seusai makan, kami melanjutkan kembali perjalanan menuju kota Jogjakarta. Suasana sudah sangat gelap dan kucoba untuk tertidur. Namun tetap, tidurku tak akan pernah lelap sebelum kami tiba di Edu Hostel, tempat kami menginap selama di Jogja. Mamaku terus saja mengirimiku pesan singkat untuk mengetahui dimana letak keberadaanku. Hingga akhirnya kami tiba di Edu Hostel pukul 23:30 dan segera kukabari mamaku. Akhirnya mamaku memutuskan untuk tidur. Tumben sekali, padahal biasanya beliau sudah tidur sedari pukul 20:00, namun karena ingin terus berkabar denganku, beliau menunda tidurnya untuk hari itu. Manis ya.

Sesampainya di hostel, aku segera bergegas ke kamar bersama wanita-wanita cantik ini. Aku sekamar dengan Rizka, Yunita, Nisfi, dan Ayudhia. Hostel ini benar-benar hostel yang cocok untuk para backpacker dan mahasiswa. Jreng! Tempat tidurnya bertingkat! Aku tak kuat lagi kalau harus berpindah tidur ke kasur atas. Selain karena sudah lelah, aku yang culun ini tidak berani untuk memanjat ke atas. Mamaku juga berpesan untuk tidak tidur di kasur atas. Untungnya ada yang mau mengalah untuk tidur di atas hihi. Memang dasar gadis, kalau disatukan ke dalam satu kamar, pasti tak akan langsung tidur. Ada saja cerita-cerita menjelang tidur. Belum lagi grup whatsapp kelasku yang masih saja bersiul. Ketika kutanya kamar lain, mereka pukul 1 pagi sudah terlelap, tapi kamar kami, jam 2 pagi saja belum semua terlelap. Padahal kami harus menyimpan amunisi untuk esok hari.

Hari kedua, 12 Februari 2013. Benar saja, aku yang baru saja tidur pukul setengah tiga pagi langsung merasa kaget ketika pukul lima lewatnya harus sudah kembali bangun. Aku yang tidak terlelap di dalam bis dan hanya memiliki tiga jam untuk tidur di hostel jadi hanya memiliki sedikit pasokan energi. Benar kata orang, kalau kurang tidur pasti bawaannya akan cepat emosi. Hal itupun terjadi padaku. Aku menjadi lebih sensitif. Sudah kuperingati teman-temanku, kalau hari itu aku sangat sensitif, itu akibat kurangnya istirahat.

Destinasi pertama kami.. Yuk mari ke UGD! Apa itu UGD? Ini Unit Gawat Dagadu! Letaknya di jalan Ikip PGRI no. 50 Sonopakis, Jogjakarta. Nama Dagadu bukan lagi nama yang asing di telingaku. Seingatku Dagadu ialah yang desain kaosnya selalu dilengkapi dengan kata-kata nyeleneh. Tapi ternyata tidak terlalu nyeleneh. Yang sangat nyeleneh itu adalah Joger dari Bali.

Kami datang pagi sekali, sekitar jam sembilan kurang kami sudah tiba disana. Jadilah kami menunggu setengah jam untuk diberikan arahan mengenai Dagadu. Dari kaca luar, UGD terlihat eyecatching dengan desainnya yang kekinian, baik desain kaosnya maupun desain tokonya. Jam setengah sepuluh, kami diizinkan masuk dan mengunjungi setiap sudut UGD. Ternyata setiap ruangan UGD yang saling berhubungan ini memiliki tema yang berbeda-beda antara satu ruangan dengan ruangan yang lainnya. Misalnya saja, ruangan pertama bernama Hiruk Pikuk, dimana kaos dan barang lain yang dijual di ruangan itu lebih mengedepankan tempat-tempat wisata di Jogja. Ruangan kedua namanya.. aku lupa namanya. Yang kuingat di ruangan ini dicat hitam dan putih dan kaos yang dijual bertuliskan tulisan-tulisan deskripsi suatu hal. Ternyata hal-hal tersebut diilhami dari konsep jadul. Maka itu suasananya dibuat seperti itu. Dagadu tidak melulu menjual kaos. Banyak barang-barang lucu lainnya yang dikemas dengan kemasan yang menarik. Misalnya saja bakpia mini yang dikemas di dalam sebuah kardus kotak warna warni seperti dadu. Ini benar-benar menarik perhatian pengunjung dan aku hampir saja membelinya. Namun niat itu kuurungkan karena aku menemukan barang-barang yang lebih lucu yaitu kartu remi versi Dagadu. Dahulu, aku sempat ingin membuat kartu remi dengan desain yang akan kubuat sendiri dan ingin kuberikan kepada tempatku melakukan praktik industri dahulu. Tetapi karena waktu yang tak memungkinkan, aku tidak jadi membuat desain kartu tersebut. Dengan pembelian kartu remi versi Dagadu, kuharap aku bisa mendapatkan inspirasi desain. Hampir semua barang yang dijual di Dagadu adalah barang-barang yang berhubungan dengan kota Jogjakarta. Saat berjalan-jalan kesini, aku seakan sedang mengakhiri pameran tugas akhir desain grafis. Semua terkonsep dan penuh desain.

Ruangan lainnya, Ruang Narsis. Ruang ini merupakan ruangan yang paling kuingat. Ada becak, latar merah yang menarik, rambu-rambu, dan tak lupa, logo Dagadu. Selain karena letaknya yang ada di depan, ruangan ini memang dikhususkan kepada orang-orang yang suka berfoto-foto. Oleh karena itu, pihak Dagadu menyediakan fasilitas untuk berfoto-foto. Selain itu ini juga cara yang ditempuh Dagadu untuk mempromosikan merk Dagadu secara tidak langsung.

Dagadu memiliki lokasi penjualan lainnya, yaitu Posyandu (Pos Pelayanan Dagadu) yang terletak di Malioboro Mall dan Alun-Alun Utara Yogyakarta, UGD yang sedang kami kunjungi, dan DPRD (Djawatan Pelajanan Resmi Dagadu) di dalam Ambarukmo Plaza.

Seusai kunjungan kami ke Unit Gawat Dagadu, kami bersiap menuju salah satu kampus seni terkenal di Indonesia, yaitu Institut Seni Indonesia. Kami melakukan kunjungan kesana setelah waktunya shalat Dzuhur. Kami makan siang di dalam bis dan shalat di masjid ISI. Suasananya terlihat sepi. Jarang aktivitas yang ditemukan disini. Ternyata hal ini disebabkan oleh masih liburnya mahasiswa ISI. Pantas saja.

Kami begitu mencolok dengan almamater kami tercinta yang berwarna kuning itu. Beberapa mahasiswa ISI yang berada di kampus terus saja melihat ke arah kami. Kami beralih ke dalam kampus Disain Komunikasi Visual. Disana kami disambut oleh ketua jurusan DKV dan dipersilakan masuk ke dalam aula. Sebelum masuk ke dalam aula, aku tercengang dengan interior kampus ini. Biasa sih, masih lebih bagus TGPku, lebih bersih TGPku. Namun yang membuat kutercengang adalah... ini yang benar-benar kampus desain! Kutemukan di bawah tangga lantai 2 menuju lantai 1 lukisan-lukisan mahasiswa ISI. Belum lagi di temboknya. Nyeni banget, istilahnya. Tembok-tembok secara tidak langsung berbicara kalau ini memanglah kampus seni, memang harus begini, agar tidak terlihat seperti kampus mati. Setelah masuk ke dalam aula, kami dijelaskan mengenai sejarah ISI, portfolio mahasiswa ISI, dan segala hal yang menyangkut tentang ISI. Karena teman-temanku meminta untuk ditampilkan karya tugas akhir yang telah dibuat oleh mahasiswa ISI pada tahun sebelumnya, sang kajur memperlihatkan karya yang telah diminta. Namun ternyata diluar ekspektasi. Kalau yang diinginkan oleh teman-teman ialah karya print-adnya, yang diperlihatkan sang kajur ialah hasil animasi dan video. Meskipun namanya sama-sama tugas akhir, namun ternyata ada perbedaan antara tugas akhir milik D3 dan S1. Mahasiswa S1 dibebaskan untuk memilih print-ad atau animasi sebagai tugas akhir mereka. Menurutku, karya animasi mereka dapat diacungi jempol. Selain itu, saya yakin mereka akan dengan mudah dapat pekerjaan setelah lulus dari kampus karena karyanya yang baik.

Setelah melakukan negosiasi, akhirnya kami dibawa ke lantai 2 untuk melihat pameran print-ad mahasiswa ISI dari tingkat berapapun. Inilah yang disebut pembelajaran, tak semua karya yang ditampilkan dapat langsung membuatku tercengang. Entah kenapa dari dulu aku berpikir kalau kampusku yang masih berakreditasi B akan punya karya paling parah, tapi ternyata setelah kunjungan ini, aku baru memahami yang namanya proses. Toh sebelum kampus lain melakukan pameran tugas akhirnya di luar kampus, tidak mungkin hasil desainnya langsung serta merta sebagus itu. Karya-karya yang ditampilkan di lantai 2 beragam. Saat masuk ke lantai 2, aku sudah dibombardir dengan banner-banner yang berisi suatu campaign. Dan setelah masuk ke dalam ruangan, ada banyak karya yang ditampilkan. Mulai dari nirmana trimatra, gambar manual, buku yang telah disertai dengan ilustrasi, berbagai poster, dan lain-lain.

Kunjungan Industri ke ISI pun selesai. Rencana berikutnya seharusnya berkunjung ke panti asuhan. Namun karena waktu dan cuaca yang tidak memungkinkan, kami dikembalikan lagi ke hostel. Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Nisfi membicarakan tentang tema tugas akhir yang akan kami ambil nantinya. Setiap membicarakan tugas akhir, mukaku akan pucat pasi dan kepalaku akan terasa pening. Tugas akhir menjadi salah satu kalimat termenyeramkan di akhir-akhir ini. Sesampainya di hostel, kami sudah dapat beristirahat lagi di kamar dan akan keluar lagi untuk city tour ke Malioboro pada pukul setengah 7 malam. Ini adalah salah satu jadwal yang kutunggu-tunggu karena ini waktunya menikmati kota Jogjakarta.

Diluar dugaan, ternyata hujan dari sore itu tidak kunjung berhenti. Hal ini akan menambah kesenduan kota Jogjakarta, ditambah lagi kami harus melintasi jalanan panjang Malioboro. Kami melintasi jalanan Malioboro dengan berpayung-payungan ria. Malioboro edisi pertama ini menjadi masa Degaduh berpencar. Beberapa kelompok Degaduh terbagi disini. Mereka sibuk masing-masing dengan buah tangan yang akan dibawanya ke Jakarta nanti. Suasana Malioboro kala itu sangat ramai. Padahal hari itu ialah hari Rabu, dimana hari tersebut merupakan hari kerja. Bagaimana kabarnya hari Sabtu dan Minggu? Mungkin Malioboro lumpuh total, ya. Disini, aku tidak belanja banyak. Disamping karena suasana begitu ramai hingga aku takkan fokus berbelanja, aku juga masih berpikir-pikir untuk belanja banyak. Dan ternyata ketika aku kembali ke bis dengan belanjaanku yang mini itu, anak-anak lain berbelanja banyak. B-A-N-Y-A-K! Lagi, ekspektasiku salah lagi. Aku langsung merasa menyesal dan terpuruk. Hiperbola.

Bulan pun berganti mentari. Sebelum menuju destinasi pertama di hari ketiga, 13 Februari 2013, kami menyempatkan diri terlebih dahulu untuk berkunjung ke gerai Bakpia Pathok 25. Jaraknya tidak terlalu jauh dari hostel. Disana kami membeli oleh-oleh orang terkasih yang telah menunggu kami di Jakarta. Aku hanya membeli tiga kotak bakpia. Dua kotak bakpia rasa keju dan satu lagi rasa kumbu hitam. Mamaku memang meminta untuk dibelikan bakpia rasa kumbu hitam. Dan aku baru saja tahu kalau kumbu hitam ialah kacang merah. Harganya pun lebih mahal daripada rasa lainnya. Sebenarnya harga per kotaknya sama saja, yaitu dua puluh lima ribu rupiah, hanya saja untuk sekotak bakpia rasa kumbu hitam, isinya lebih sedikit.

Seusai berbelanja di gerai Bakpia Pathok 25, kami melanjutkan perjalanan ke Kelompok Batik Tulis Giriloyo di wilayah Imogiri, Jogjakarta. Perjalanannya cukup jauh, melintasi persawahan dan perladangan. Untuk kunjungan yang satu ini, semua jurusan di TGP dijadikan satu kunjungan. Hal ini untuk mempererat persaudaraan antara desain grafis, teknik grafika, dan penerbitan. Sudah cukup siang kami tiba disana. Tempat kelompok batik tulis ini cukup nyaman dan asri karena terletak di desa dan berupa saung-saung kecil, dimana di saung tersebut merupakan tempat ibu-ibu untuk mengerjakan karya batik tulisnya. Harga batik tulis tentunya akan lebih mahal dari batik cap, karena batik cap tidak membutuhkan banyak waktu untuk pengerjaannya. Kelompok Batik Tulis Giriloyo hanya mengerjakan batik tulis.

Sebelum membatik, terlebih dahulu kami diberi pengarahan. Kami melukis batik dengan canting dan juga lilin (malam) di atas sebuah kain putih. Lukisan mengikuti pola yang telah digambar dengan menggunakan pensil. Seringkali kumenghancurkan hasil karya batik yang telah kubuat hari itu dengan tidak rapinya mencanting dengan malam. Padahal dulu aku pernah pergi ke museum batik pada saat SMA dan juga diajari tentang cara membatik. Ini memalukan.

Setelah pola yang sudah ditimpa dengan malam selesai, kain akan dicuci oleh ibu-ibu dari kelompok batik tulis ini. Ini untuk menghilangkan malam yang terlalu tebal. Setelah itu, kain diwarnai dengan pewarna tekstil. Caranya dengan merendam kain tersebut ke dalam air bercampur pewarna tekstil yang telah disiapkan. Pada proses tersebut, lama kelamaan malam yang tadi telah dioleskan akan hilang. Proses pewarnaan kain selesai, saatnya penjemuran. Ketika sudah kering, jadilah kain batik pertama kami, Margin 2010.

Saksi bisu kebersamaan kami berikutnya ialah Candi Prambanan. Sudah turun tetesan-tetesan air dari langit. Yang awalnya pelan-pelan, lama-lama menjadi lebih lebat. Ya, itulah hujan. Kami berhujan-hujanan, satu angkatan, satu basah, semua basah. Ini salah satu momen yang kusuka, ketika kita semua di dalam satu bingkai, Margin 2010, dibawah langit yang gulita, di depan candi peninggalan yang terdahulu, dan tanpa ada salah satu prodi yang tertinggal seperti biasa-biasanya.

Hal lainnya yang tidak akan terlupa dari Prambanan ialah harganya yang jauh lebih murah daripada Malioboro. Disini akhirnya aku bisa melampiaskan dendam belanjaku yang kemarin. Dengan waktu yang singkat dan harga yang lebih bersahabat dengan kantong, aku bisa mendapatkan beberapa item, setidaknya untuk orang-orang satu rumahku.

"Masih seperti dulu, Tiap sudut menyapaku bersahabat, Penuh selaksa makna..." Sebuah potongan tembang dari Kla Project bukan lagi sebagai omong kosong. Memang begitu kenyataannya. Sepanjang jalan Malioboro, para tukang becak menyapa kami yang terlihat jalan bergerombol. Kalau tidak salah mereka bilang, "Bakpia, Dagadu, Keraton, lima ribu." Bahkan ada yang menawarkan hanya dengan tiga ribu rupiah. Hah? Tiga ribu? Bagaimana bisa? Bahkan di Jakarta, sulit sekali kutemukan tukang bajaj yang rela ditawar hingga lima ribu rupiah. Lha ini, belum ditawar saja sudah berani menawarkan sampai sebegitu rendahnya. Persaingan rezeki sebagai tukang becak di Malioboro memang sangat ketat. Sepanjang jalan ada becak. Sesekali delman mendahului jalan kami. Aku adalah orang yang berpikir, bagaimana bisa dia menawarkan serendah itu? Bukannya harga makanan di Jogja hampir sama dengan Jakarta?

Beralih dari pembicaraan becak, di akhir jalan-jalanku ke Jogja bersama Degaduh itu aku ingin sekali menghabiskan waktu bersama anak-anak kelasku. Aku tidak ingin terpisah kembali seperti kemarinnya. Aku ingin membiarkanku berjalan dengan langkah yang sama bersama mereka, di depan hingar bingar Malioboro, berjalan melewati genangan air yang menggenangi jalanan, dan di bawah lampu kota yang temaram. Santap malam di angkringan, meneguk kopi yang telah dicampur dengan arang, duduk di trotoar beralaskan tikar sambil bersenda gurau akan menjadi momen kenangan yang tak akan pernah terlupa di masa kuliah diplomaku, di kota asalku. Ya sebelum kami semua sibuk sendiri-sendiri dengan masa depan kami masing-masing..

Perjalanan pulang dari Malioboro menuju Jakarta pun juga menjadi sebuah perjalanan yang dapat dirindukan. Kami tiba di bis terlebih dahulu kemudian kami melanjutkan kembali permainan UNO yang terpaksa tertunda karena datangnya liquid-liquid dari langit. Peraturan main UNO terbodoh hanya kudapatkan di dalam Degaduh. Tidak boleh terlihatnya gigi dan tidak boleh adanya pertanyaan dalam permainan menambah riuh suasana permainan kami. Belum lagi hukuman bagi yang kalah untuk tetap berdiri sampai permainan selesai. Padahal sulit sekali lho untuk tetap berdiri stabil di dalam bis yang sedang berada di jalan yang penuh liukan. Hal konyol lainnya adalah ketika pukul setengah 3 pagi anak laki-laki memaksakan diri untuk menonton bola melalui hp Adit yang ada antenanya, tapi karena kami benar-benar sedang melintasi pedesaan, maka siaran itu benar-benar hilang dan akhirnya mereka memutuskan untuk tertidur kembali.

Begitulah ceritaku tentang Jogja, kampung halamanku. Kami melesat di bumi Depok dengan sempurna pada pukul 14:30. Tak ada sesal yang kurasa sepulang studek. Terima kasih Degaduh, terima kasih Margin 2010, terima kasih TGP :)

Jakarta, 2 Maret 2013
Talita Leoni Rizkitysha