Monday, July 7, 2014

Dear Fresh Graduated

Some people work for (much) money,
another work for skill and experience.

Entah kenapa di pagi ini kata-kata tersebut terlintas di benak saya. Teringat tentang teman-teman saya, bahkan yang studinya belum selesai pun begitu mengharap bayaran sebesar-besarnya. Begitu pula ketika mereka hanya berstatus sebagai anak magang, harapan untuk mendapatkan bayaran jauh lebih besar dibanding banyaknya ilmu yang akan didapat. Hanya senyuman penuh arti yang bisa saya ekspresikan kala itu.

Di dalam hati pun saya tertawa dan bergumam ketika mereka berkata seperti itu. "Memangnya apa yang bisa dijual dari kamu? Kamu yakin kalo dengan ngehire kamu dan memberikan bayaran besar buat kamu akan lebih bermanfaat dibanding bayar sedikit lebih mahal untuk yang lebih berpengalaman?". Pahitnya, kalau saya yang jadi bosnya, saya tidak mau merekrut anak magang yang seperti itu. Namanya juga anak magang, yang sebenarnya perlu kan anaknya. Dibayar/tidak dibayar ya bonus. Dulu pun saya magang tidak sepeser pun uang yang saya terima, karena di kantor magang saya dulu, mereka tidak ingin kalau motivasi magangnya adalah untuk mendapatkan uang. Tetapi tenang, Tuhan itu adil kok. Ilmu yang saya dapat terhitung jauh lebih banyak diserap dibanding teman-teman saya yang magangnya dibayar. Manis kan?

Tanpa kemunafikan, saya juga pernah kok berekspektasi untuk mendapat bayaran di atas UMR Jakarta ketika nantinya saya lulus D3 dan bekerja. Tapi ketika saya terjun langsung di dunia nyata dan ekspektasi tersebut berbalik layaknya jarum jam yang dipaksa untuk berputar ke arah kiri, saya baru memahami tentang sebuah proses kehidupan. Jujur, saya hanya mendapatkan gaji pokok sebesar 50% dari ekspektasi saya. Jaminan kesehatan dan teman-temannya? Tentu saja....... mana ada.

Di awal saya menjadi fresh graduated, saya harus amat pintar dalam menyusun anggaran. Kenyataan pahit seperti harus berjalan kaki dengan kecepatan tinggi selama 15 menit dari stasiun hingga kantor dan membawa perbekalan dari rumah harus saya jalani selama beberapa bulan pertama. Perjalanan harus dilakukan secepat mungkin demi tidak adanya potongan gaji. Belum lagi di setiap hari Jumatnya saya harus mengeluarkan 1 lembar berwarna merah muda demi keberangkatan saya menuju kampus dan kepulangan saya yang begitu larut dari kampus menuju rumah. Bagaimana jam kerjanya? Jangan pula berpikir saya pulang Teng-Go, saya harus menyiapkan tenaga lebih untuk overtime.

Terkadang saya berpikir kalau saya dan sapi perah tiada bedanya. Namun saya selalu berusaha untuk meyakini kalau keindahan dan kenyamanan akan saya dapatkan di waktu yang tepat. Dan benar saja, dalam waktu dua bulan, saya mendapatkan kenaikan bayaran yang cukup besar. Orang lain yang menuntut bayaran besar di awal pun saya rasa tidak pernah mendapatkan kenaikan sebesar ini, apalagi untuk fresh graduated. Lagi-lagi, saya merasa telah menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini.

Sebenarnya ada begitu banyak lahan pekerjaan yang bisa membuat saya tidak merasakan overtime yang berlebihan. Namun saya kembali berpikir, mengapa saya harus pulang Teng-Go di usia 20 tahun? Apa dengan bekerja Teng-Go skill saya akan sama dengan ketika bekerja lebih lama? Ada banyak alasan untuk menjawab tidak. Bobot pekerjaannya sudah pasti berbeda dan portfolio akan menjawab semuanya. Di pikiran saya, tidak apa sekarang gaji pas-pasan, yang penting tidak ada kebodohan di masa depan, kan?

Oh ya, yang terparah, jangan sampai bekerja untuk gaji yang besar tetapi dengan mengesampingkan passion. Bekerja di luar passion itu tidak menyenangkan sama sekali, yang ada malah jadi bekerja setengah hati.



Jadi gimana, uang banyak atau pengalaman?
Itu pilihan kamu.



TLR
Ramadan day 9
Working for passion, skill and experience.

Monday, February 3, 2014

Perpindahan

Selalu ada banyak cerita tentang perpindahan. Dalam denotasinya, perpindahan bisa digambarkan sebagai kendaraan berroda yang dapat bergeser posisi, atau juga tempat tinggal yang akan terus berpindah. Cerita lainnya, hati manusia pun bisa berpindah, singgah dari satu hati ke hati yang lainnya, meninggalkan cerita lama dengan orang lain yang pernah disinggahi hatinya.

Dulu saya sempat berpikir bahwa perpindahan pasti akan menyebalkan, di mana kita harus kembali beradaptasi dengan lingkungan yang belum tentu akan lebih baik dari lingkungan sebelumnya. Beberapa bulan setelahnya, saya sempat mengetikan buah pikiran saya di sebuah jejaring sosial, kurang lebih seperti ini, "Karena perpindahan tidak selalu menyebalkan." Iya, tapi itu beberapa bulan yang lalu. Hari ini saya kembali mempertanyakan hal itu. Apa iya tidak selalu menyebalkan?

Dalam rentang waktu 1 bulan ini, di kantor kecil saya sudah 4 orang mencabut kewajiban bekerjanya sendiri di kantor kecil milik bos kami. Alasannya pun beragam, bisa karena memang memiliki masalah dengan atasan, bisa mungkin karena tidak sreg dengan kantor ini, atau mungkin saja ada tawaran pekerjaan lain dengan gaji yang menggiurkan. Saya tidak tahu pasti apa alasannya, karena dari 4 orang tersebut, hanya 1 yang meminta izin untuk berpindah --- mungkin ke tempat yang lebih baik. Bagaimana dengan yang lainnya? Ya, mereka hilang begitu saja, tanpa memberikan kabar kepada kami semua hingga kami hanya bisa bertanya-tanya sendiri kepada hati kecil kami, mengapa mereka berpindah dan tanpa mengucapkan selamat tinggal?

Sungguh saya pun masih asing dengan pemandangan seperti ini. Saya ingat betul di saat hari pertama saya magang di kantor advertising dulu, seorang asing yang diduga sempat menjadi copywriter di sana berjabat tangan, memberi pelukan hangat, dan mengucapkan selamat tinggal ke setiap pekerja di sana. Teman-teman yang ditinggalkannya pun juga tak kuasa untuk membendung rasa sedihnya, sedih kehilangan satu keluarganya untuk berpindah ke tempat yang lebih baik. Kehangatan itu pun terasa hingga sudah waktunya saya mencabut kewajiban saya sebagai anak magang 3 bulanan di sana. 2 lusin donat ternama saya bawa di hari terakhir saya mengabdi di kantor advertising tersebut. Semua berkumpul di ruang tengah, memberikan evaluasi terakhir untuk saya, dan juga tak lupa, sebuah hadiah yang dibungkus dengan kertas kado batik itu pun ada di atas meja, untuk saya. Di jam-jam terakhir saya menginjakkan kaki di sana pun saya tak lupa kembali memberikan jabatan tangan terkuat dan terhangat untuk keluarga 3 bulan tersebut. Mereka juga masih memberi saya wejangan-wejangan, supaya ketika saya lulus dan bekerja, saya bisa memperbaiki setiap kekurangan pada diri saya. Sedihnya pakai banget di kala itu. Melihat sekeliling, mengingat tidak akan ada lagi rutinitas untuk kembali bolak-balik ke sana.

Kesan mengenai hari terakhir di kantor magang dulu sungguh membekaskan cerita yang mendalam di hati saya. Tetapi kenapa hari ini, kenapa di lingkungan baru ini, saya tidak bisa menemukan hal itu? Kenapa mereka pergi tanpa pamit, tanpa mengucap selamat tinggal? Apa iya, hal ini terjadi karena tidak adanya ikatan batin yang terjadi pada satu sama lain? Apa iya, yang ada di pikiran mereka, "Kalau saya pergi juga nggak akan ada yang kehilangan..."? Lalu bagaimana jika suatu kali nanti saya yang harus berpindah?

Entah, saya hanya bisa menelan ludah.