Sunday, November 17, 2019

Hai temanku yang tidak kumention namanya

Hai temanku yang tidak kumention namanya,
Ketika mayoritas orang memaknai sukses dengan mengukurnya melalui materi, kamu mendefinisikan sukses jika kamu dapat memberikan dampak yang signifikan untuk warga di daerah terpencil di negeri ini.

Hai temanku yang tidak kumention namanya,
Terima kasih ya. Setelah bertemu denganmu di hari itu, aku jadi berpikir ulang mengenai purpose hidupku. Terima kasih banyak karena telah menganjurkanku untuk merenungi hal itu.

Hai temanku yang tidak kumention namanya,
Kuharap kamu tidak turn off ketika mendengar aku yang bingung, tidak mengetahui apa yang ingin dicapai dalam hidup. Sungguh, aku pernah menyusun mimpiku, tetapi di detik ini aku memilih untuk tidak bermimpi, karena aku takut, ketika mimpi kita seberbeda itu, akhir cerita kita akan seperti ending di film La La Land.

Hai temanku yang tidak kumention namanya,
Terlepas dari basa-basi atau tidaknya ucapanmu saat itu, masihkah kamu memiliki keinginan untuk membimbingku? Almarhum Bapak Habibie pernah bilang, ia rela berubah untuk menjadi the best version of himself yang almarhum Ibu Ainun inginkan dan vice versa. Jika masih, aku bersedia kok untuk kamu bimbing, dan kemudian berubah menjadi manusia yang lebih baik versimu. Asalkan logis tentunya.

Hai temanku yang tidak kumention namanya,
Tenanglah, aku tidak se-absent minded itu akan tujuan hidupku. Aku selalu ingin menjadi manusia yang dapat menginspirasi dan bermanfaat untuk orang lain. Lima paragraf yang jumlahnya sama dengan tanggal ulang tahun kamu (dan aku) ini cukup menjadi teaser untuk pertemuan kita selanjutnya. Mari kita singgahi lagi bangku kosong sisi jendela kafe di sudut-sudut kota ini dan melanjutkan cerita tentang mimpi-mimpi kamu, aku, atau malah... kita?

Dari aku,
Yang tidak sekali dua kali memention namamu,
Di dalam doaku.

Tuesday, April 26, 2016

Boundless Spirit

A very peaceful morning with Lights acoustic version by Ellie Goulding brought me here, to my deserted blog. Certain people clicked on my blog only want to find how to life in advertising agency, a field of company who force their workers to stay awake till the late night everyday --- except in my current office. But today, I'm not going to talk about that. I'm going to tell you about my future, the topic which blocking my mind in these several days.

Last week was the last day for my IELTS class. I read in another blog that after they complete their IELTS course, they can reach the minimum score to be allowed in register the overseas university. Yeah I'm happy with their achievement, but I'm feeling disappointed with my capability. My last prediction test was terrible, especially in reading section. My concentration distracted during the test, because the guy who sat next to me is extremely clever, he could finish every section so fast and yeah, I didn't finish my reading test, I didn't answer about 10 numbers. And the most heartbreaking moment when my native teacher told me to take a course in General English, to enrich my vocabulary and also fixing my grammar. Oh My God, I'm tired in attending english course because this IELTS course is the third class that I've been taking since January 2015. Moreover there's no guarantee to success in IELTS if I take any more courses.

I think I've made the readers on this blog feeling confused. A few years ago, I vehemently told in this blog that I really want to be advertising worker. But now, I need something more challenging in my life. I'm not comfortable if I do the same things everyday and you have to know that the graphic of my daily life is currently stagnant. It's terrible, guys. I don't want to be like my colleagues who spending their whole time here, especially if their incumbency never change during that long time. Stagnant skills and stagnant salary for many years.... Hmm, sounds awful for me. Improvement is a need, at least for myself. When I could reach a goal, reaching another goals is a must. Becoming a foreign student is amazing, guys. You can enhance your skill in your aspired scope, learn a new culture even the psychology of a society in abroad, and don't forget, the ability of English language also can be increased. You can find another perspective from people in another country.

I still remember about my previous dream to become an art director in advertising agency. Since my company have different regulation about separating graphic designer and art director team, I'm no longer think about that dream, neither my occupation as a graphic designer. As I said before, my passion as a graphic designer starting to become zero. I miss those challenging arena. Everyday I only do my revision, both from the client and account director (???). Sometimes I miss to take a part of a pitch or new project, but I'm a lil bit trauma of getting revision from the account team, because they don't send my project to the clients before getting approval by them whereas I have a creative director to monitor my project. It's like your design is for account director, not for the clients, because she thinks that she knows what client wants. And then clients will think that the speed of graphic designers in my company while doing a project are sooooo slow because I have to revise my design based on what the account team want. Horrible.

Back to the topic. Previously I don't think that my english course will as far as happened now. At first I only thought about preparing myself to work in multinational company but my previous english classmate make me think about taking master degree. They inspired me a lot because some of them were attending in master class at UI. They introduced me about LPDP, the scholarship from ministry of finance. Yeah, they were funded by LPDP for their master education. After completing my english course at LBI, I met more incredible friends at IALF and I realized that I'm still far from being a clever student. You can see from this article, a lot of grammatical error, kan? But I won't give up, I have to prove, at least for myself, that I can reach my dreams. I have to push myself into the limit, to change my life, to push me into more challenging arena. This is funny, I want to study hard in my 20s, not in my teens age. But it's okay since somebody said that we have to learn in our whole life. Since I got some comments from the readers of this blog that they feeling inspired after read this blog, I was determined to always be able in inspiring many people in many ways. Thanks guys :')

If you don't go for your dreams, what is your life about?

Sunday, January 3, 2016

Saya Telah Jadi Anak Ahensi

Satu tahun sudah saya nggak nulis apa-apa di blog ini. Hilang begitu aja, tanpa kabar, tanpa asa yang menggebu-gebu untuk menceritakan apa yang telah terjadi pada hidup saya di dalam situs pribadi gratisan saya ini. Sambil membersihkan debu-debu dan sarang laba-laba yang telah banyak melekat di dalam blog ini, saya akan menceritakan apa yang sudah terjadi pada satu tahun belakangan ini.

Meruntut dua postingan saya mengenai saya yang kepingin banget jadi anak ahensi sejak tiga-empat tahun yang lalu (sepertinya dari 2012), finally saya kesampaian juga untuk jadi bagian dari dunia per-ahensi-an itu. Februari 2015 saya resmi resign dari kantor event organizer yang telah saya ceritakan pula sebelumnya. Yaaa, nggak lama dari postingan saya bulan Desember 2014, Januari-nya akhirnya ada ahensi yang rela 'mungut' saya untuk bisa jadi bagian dari mereka. Kala itu saya senengnya bukan main, yaiyalah, mimpi saya dari tahun 2012 itu akhirnya tercapai juga di 2015. Butuh waktu tiga tahun untuk bisa menaikan kemampuan saya agar portfolio saya bisa dilirik oleh mereka. But unfortunately, saya belum bisa untuk menaikan level saya ke jenjang yang lebih tinggi, art director yang kerjaannya ngonsepin iklan. Hingga detik ini saya masih aja jadi graphic designer dan di kantor saya sekarang ini, graphic designer bukan bawahannya art director. Di sini art director sama graphic designer beda tim. Kalo AD yang ngerjain iklan, kalo GD yang ngerjain keperluan BTL atau desain-desain kayak bikin packaging dll.

Awalnya saya enjoy dengan kerjaan saya yang kebanyakan bikin desain packaging itu. Permen sefenomenal "Manis Asem Asin Rame Rasanya!" atau biskuit sememorable "Imut, Enak Bergizi" bisa saya yang kecipratan ngerjain packaging-nya. Tapi kalian harus tau kalo bikin packaging itu prosesnya lamaaaaa banget, bisa bertahun-tahun. Waktu ngolah konsep dan ngolah desainnya pertama kali itu masih bahagia feelnya, tapi setelah itu, revisi revisi revisi (bisa lebih dari 10x revisi) dan dimasukin ke BPOM, you have to know that itu bosenin banget. Ketika kerjaan timnya art director udah ganti berkali-kali dalam beberapa bulan, tim desain masih harus stand-by dengan brand yang sama dari beberapa bulan/tahun yang lalu karena desainnya nggak kunjung-kunjung FA (final artwork, siap dicetak), meski dalam kurun waktu tersebut ada pekerjaan desain yang lain lagi, dari brand yang berbeda tentunya. 

Believe it or not, selama hampir satu tahun di sini, baru satu desain buatan saya yang udah naik cetak, itu pun sepertinya belum launching karena belum tanggalnya launching. Selebihnya belum ada yang FA. Satu tahun. Satu desain. Kacau. Fyi, desain yang belum launching itu (harusnya) belum boleh untuk diperlihatkan kemana-mana, termasuk untuk dimasukan ke dalam portfolio. Secara otomatis, desainer yang karyanya belum launching itu belum boleh pindah ke tempat lain karena karyanya masih nyangkut di status confidential. Sebenernya boleh aja nyebar CV ke tempat lain (yang tentunya portfolionya nggak memuat karya yang belum launching itu), tapi kalau yang kayak saya, satu tahun satu desain, mau jualan apa? Portfolio tahun kemarin, saat masih di kantor lama?

Ngomongin pindah-pindah kantor, di akhir 2015 kemarin saya sempet kepikiran akan hal itu. Rasanya nakal banget sih, baru juga mau setahun, masa udah kepikiran hal itu? Gimana jadi temen-temen saya yang udah dapet emas berkali-kali? Fyi lagi, di kantor saya itu yang udah mengabdi di atas 6 tahun dapet reward berupa emas batangan, cuti satu bulan, dan sejumlah uang dengan mata uang US dollar. Penghargaan tersebut diberikan setiap kelipatan enam tahun masa kerja, jadi misalnya masa kerja 6 tahun, 12 tahun, 18 tahun, dst. Nah di kantor saya, kerja 4 tahun aja masih dibilang sebentar, karena yang mengabdi udah lebih dari 20 tahun aja ada! Masa saya yang istilahnya baru masuk ini udah kepikiran keluar lagi? But from the deepest of my heart, I'm getting tired. Jujur-jujuran aja ya, kerjaan saya di kantor lama, kantor yang saya pikir saya nggak akan berkembang di sana, ternyata kerjaannya jauh lebih challenging daripada kerjaan saya sekarang. Menurut saya lho. Karena dulu nggak cuma desain, tapi saya juga ngonsepin event, bener-bener gali mulai dari nol, trus sering banget ikut pitching dan lebih banyak yang golnya daripada yang kalahnya (ini sih salut sama bos saya juga sih, cara dia presentasi selalu bisa meyakinkan kliennya sehingga konsep yang udah kami buat bisa terdelivered dengan baik ke kliennya). Secara load kerjaan, di kantor sekarang karena ada banyak banget timnya dan orangnya, kalo lagi nggak ada kerjaan, saya bisa aja nggak ngapa-ngapain selama seminggu penuh. Dulu-dulu sih seneng, apalagi kalo momennya pas banget, misalnya habis hectic kerjaan dateng bertubi-tubi, trus setelahnya dikasih waktu senggang begitu. Tapi sekarang-sekarang malah jadi mikir, I'm 22 years old and I do nothing in the office. Masih muda dan kebanyakan waktu senggang itu seakan mematikan otak, tau. Agak 11-12 sama petuah yang pernah disampaikan bos saya di kantor lama, gini kurang lebih, "Makin banyak tidur makin bodoh kamu, nak.". Oh yeah, I always thinking about that during my 'leisure' time.

You know what? Jam-jamnya nggak ada kerjaan di kantor itu adalah masa paling serba salah di kantor. Mau Facebook-an, kalo terus menerus nggak enak dilihat orang lain, disangkanya ini anak nggak ada kerjaan apa kok Facebookan melulu. Mau nonton film, di sini bukan bioskop, kels. Mau ikut kontes desain, eh kerjaan sampingan yang udah pasti berbayar aja belum disentuh. Mau ngerjain kerjaan sampingan, rasanya nggak etis. Belum lagi mesti siapin jawaban kalo lagi ditanya ini itu. Belum lagi pula kalo ada yang kurang ajar teriak-teriak, "Cieee Talita ngerjain side job.." Sehingga semua orang tau. Minta disumpel pake kaus kaki busuk apa ya. Gitu deh, serba salah kan. 

Saya masih nggak tau apa rencana saya di tahun ini. Terasa banget masih blur-nya. Dua tahun masa kerja masih jadi graphic designer yang nggak kunjung naik kasta, tujuan masuk ahensi buat ngerjain iklan, sampe sekarang masih belum dapet amanah untuk ngerjain itu, masih aja nyangkut di kerjaan packaging yang sebenernya bukan nggak doyan ngerjainnya, tapi kalo emang saya pengen ngerjain packaging, saya larinya nggak akan ke ahensi iklan, kali. 

Dilematis mau pindah kantor, tapi statusnya belum jadi art director di sini, rasanya sulit untuk lolos jadi art director di kantor berikutnya, meski jadi junior sekalipun. Portfolio iklan nggak ada, awards-awards-an juga buru-buru deh, seumur-umur dapet piala aja belum pernah :'). Ya kan dibilang seumur hidup bisa lolos ini itu cuma modal hoki doang hahaha. Mana kepikiran mau coba lanjut sekolah juga lah, karena kalo nggak lanjut sekarang, nanti keburu ketuaan terus nggak jadi lanjut sekolah.

Yhaaa udahlah, seperti biasa, hampir setiap postingan dalam blog ini memang selalu terasa menggantung dan tanpa konklusi. Awal tahun dan tanpa resolusi... It's not a big deal, Lita. Semoga aja hari-hari setelah postingan ini dimuat, pencerahan itu akan segera datang kepada saya. Harus selalu yakin, God knows the best for us, yes :)

Have a good day, pals!

Saturday, January 31, 2015

Saya Mau Jadi Anak Ahensi - Part 2

Desember 2014.

Bulan November telah usai, 2014 pun juga hampir usai. November lalu terasa begitu penuh buatku, terutama di bulan November bagian akhir. Banyak sekali kejadian yang tak terduga dan semua begitu terasa nano-nano. Sedikit bocoran, November 2014 buat saya adalah tentang pitching, wisuda kedua kalinya yaitu wisuda sarjana, dan proses untuk mencapai mimpi.

Masih ingat tulisan saya yang ini --- Saya Mau Jadi Anak Ahensi - Part 1? Kelanjutan tulisan saya ini ternyata terjadi di bulan November. Desember 2013 saya bilang kalau saya akan kembali ke dunia ahensi di sekitar bulan Agustus-September 2014. Tapi kenyataan berkata lain. Di bulan-bulan tersebut saya masih saja disibukan dengan skripsi sarjana saya. Bolak balik bimbingan skripsi kesana kemari, revisi yang tak kunjung usai, pekerjaan kantor yang semakin menggila, plus saya harus lembur sampai tengah malam. Berkali-kali saya berusaha mencari tombol escape karena tidak yakin kalau seluruhnya akan terlewati dengan baik, tapi tombol itu tak pernah ditemukan. Bayangkan saja bagaimana rasanya ketika pekerjaan kantor datang tanpa henti, kemudian malamnya saya harus pergi bimbingan, dan parahnya, PR bimbingan saya belum benar-benar selesai. Meski pergi bimbingannya pukul setengah delapan malam, tapi saya bener-bener merasa akan melarikan diri dari kantor, meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya harus dikerjakan. Padahal sebenarnya di pukul setengah enam saya sudah terbebas dari pekerjaan dan boleh beranjak pulang. Yah gimana, nasib kerja di Event Organizer kan begitu. Over time dan tanpa uang lembur, tanpa dapat makan malam pula. Oke, yang terakhir itu untung-untungan. Makanya, sejujurnya dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya gemes banget kalau lihat anak-anak yang hanya punya satu okupasi --- mahasiswa aja maksudnya, tapi skripsinya nggak selesai-selesai, padahal mereka nggak harus banting tulang untuk mengumpulkan pundi-pundi keuangan. Terus karena terlambat lulus, uang semesterannya harus dibayarkan ekstra sama orangtuanya. Kenapa miris banget?

29 November lalu saya diwisuda. Tombol escape yang nggak pernah saya temukan itu memang seharusnya nggak pernah saya temukan, karena tombol escape hanya muncul untuk yang lemah, semacam loser. Meskipun banyak kecacatan dalam wisuda saya kemarin, but overall, saya bangga, bangga sekali. Jerih payah selama 6 bulan terakhir ini akhirnya terbayar juga, saya bisa mengikuti wisuda untuk yang kedua kalinya. Kuliah empat tahun, wisuda dua kali, di umur 20 dan 21 tahun. Terus pas lulus statusnya sudah bukan fresh graduated lagi, tapi sudah dengan pengalaman pekerjaan selama 1 tahun sebagai full time creative designer. Yaampun, kalau dirujuk ke postingan-postingan blog ini seperti Postingan Tahun 2010 dan Postingan Tahun 2012, saya udah nggak punya lagi alasan untuk jadi orang yang nggak bersyukur. Saya cinta, cinta sekali dengan hidup saya, meski dalam urusan percintaan, mungkin saya yang terpayah :)) #Intermezzo.

Selain menawarkan cerita tentang wisuda, di akhir bulan November ini saya baru sempat mencoba peruntungan kembali untuk masuk ke dalam dunia ahensi. Bukan sekadar mencoba peruntungan tentunya, tapi mencoba kembali meraih mimpi yang sempat tertunda selama satu tahun.



Sampul CV Talita Leoni Rizkitysha 2015

Dua kata, naik kelas. Saya antarkan CV saya ke beberapa tempat, dan tentu saja dengan fasilitas surat elektronik. Saya yang bisa dibilang sebagai yesterday afternoon child ini tentu nggak pernah membayangkan kalau ternyata ahensi yang akan manggil saya adalah salah satu multinational agency di Indonesia, yang kantornya juga berada di gedung-gedung perkantoran megah di bilangan Jakarta Selatan. Dan yang lebih nggak pernah saya bayangkan adalah saya yang dipanggil di sana sebagai art director. MEEEN, banyak gaya banget anak umur dua satu ngeapply jadi art director! Dan benarlah, saat di-challenge untuk mengonsep sebuah iklan televisi, saya agak banyak bingung di awal, karena di saat itu pula, tepat di depan sang creative director, saya harus mengeluarkan ide-ide gila saya. Akan tetapi karena saya yang minim akan pengalaman menjadi art director, ide yang saya keluarkan ya begitu saja, bukan sesuatu yang oh-my-God-that-is-a-great-idea. 

Creative director di sana bilang kalau desain saya bagus, bagus banget. Dia merekomendasikan saya untuk jadi graphic designer di sana kepada sang HRD. Wah, saya seperti melihat ada secercah harapan untuk menjadi bagian dari mereka. Saya sudah membayangkan kalau, "Wah, Talita, fresh graduated in Bachelor degree with one year working experience, sekarang jadi anak ahensi di multinational company lagi, terus klien-kliennya dari luar negeri." Ya, saya hanya anak ingusan yang hobi sekali ngayal. Saya ngayal terlalu jauh, karena pada kenyataannya, untuk saat itu di sana belum membutuhkan graphic designer. Mereka bilang, mungkin di awal tahun, di saat pekerjaan sedang datang banyak-banyaknya, ada posibilitas untuk mereka panggil saya lagi :') 

Sebelum saya kembali ke kantor, sang HRD berpesan pada saya untuk segera mengambil kursus bahasa inggris, karena di ahensi, setidaknya ada satu dua orang ekspatriat. Dan pesan lainnya adalah saya harus berlatih untuk berpikir kreatif dengan membuat personal project. Mungkin bisa berupa kampanye sosial yang problematikanya diangkat dari masalah-masalah di Jakarta. 

Sepulangnya dari sana, tentunya ada perasaan kecewa di dalam hati kecil saya. Tapi di sepanjang perjalanan menuju kembali ke kantor, saya begitu bangga atas diri saya sendiri, mengingat satu tahun yang lalu, kantor-kantor yang memanggil saya untuk interview adalah bukan berasal dari ranah advertising agency. Sedikit nggak nyangka aja, ternyata portfolio saya bisa tembus ke dunia ahensi. Yang tadinya saya meragukan kalau saya akan berkembang di kantor saya sekarang yang merupakan event organizer, ternyata saya telah salah menilai. Desain saya bukannya downgrade, malah jadinya berkembang pesat. Begitupun dengan cara saya mendevelop sebuah konsep. Jam kerja yang jauh lebih banyak daripada teman-teman seprofesi saya ternyata cukup mempengaruhi portfolio saya. Yaaa, ternyata Tuhan memang lebih mengetahui mana yang terbaik untuk kita, kan?

Monday, July 7, 2014

Dear Fresh Graduated

Some people work for (much) money,
another work for skill and experience.

Entah kenapa di pagi ini kata-kata tersebut terlintas di benak saya. Teringat tentang teman-teman saya, bahkan yang studinya belum selesai pun begitu mengharap bayaran sebesar-besarnya. Begitu pula ketika mereka hanya berstatus sebagai anak magang, harapan untuk mendapatkan bayaran jauh lebih besar dibanding banyaknya ilmu yang akan didapat. Hanya senyuman penuh arti yang bisa saya ekspresikan kala itu.

Di dalam hati pun saya tertawa dan bergumam ketika mereka berkata seperti itu. "Memangnya apa yang bisa dijual dari kamu? Kamu yakin kalo dengan ngehire kamu dan memberikan bayaran besar buat kamu akan lebih bermanfaat dibanding bayar sedikit lebih mahal untuk yang lebih berpengalaman?". Pahitnya, kalau saya yang jadi bosnya, saya tidak mau merekrut anak magang yang seperti itu. Namanya juga anak magang, yang sebenarnya perlu kan anaknya. Dibayar/tidak dibayar ya bonus. Dulu pun saya magang tidak sepeser pun uang yang saya terima, karena di kantor magang saya dulu, mereka tidak ingin kalau motivasi magangnya adalah untuk mendapatkan uang. Tetapi tenang, Tuhan itu adil kok. Ilmu yang saya dapat terhitung jauh lebih banyak diserap dibanding teman-teman saya yang magangnya dibayar. Manis kan?

Tanpa kemunafikan, saya juga pernah kok berekspektasi untuk mendapat bayaran di atas UMR Jakarta ketika nantinya saya lulus D3 dan bekerja. Tapi ketika saya terjun langsung di dunia nyata dan ekspektasi tersebut berbalik layaknya jarum jam yang dipaksa untuk berputar ke arah kiri, saya baru memahami tentang sebuah proses kehidupan. Jujur, saya hanya mendapatkan gaji pokok sebesar 50% dari ekspektasi saya. Jaminan kesehatan dan teman-temannya? Tentu saja....... mana ada.

Di awal saya menjadi fresh graduated, saya harus amat pintar dalam menyusun anggaran. Kenyataan pahit seperti harus berjalan kaki dengan kecepatan tinggi selama 15 menit dari stasiun hingga kantor dan membawa perbekalan dari rumah harus saya jalani selama beberapa bulan pertama. Perjalanan harus dilakukan secepat mungkin demi tidak adanya potongan gaji. Belum lagi di setiap hari Jumatnya saya harus mengeluarkan 1 lembar berwarna merah muda demi keberangkatan saya menuju kampus dan kepulangan saya yang begitu larut dari kampus menuju rumah. Bagaimana jam kerjanya? Jangan pula berpikir saya pulang Teng-Go, saya harus menyiapkan tenaga lebih untuk overtime.

Terkadang saya berpikir kalau saya dan sapi perah tiada bedanya. Namun saya selalu berusaha untuk meyakini kalau keindahan dan kenyamanan akan saya dapatkan di waktu yang tepat. Dan benar saja, dalam waktu dua bulan, saya mendapatkan kenaikan bayaran yang cukup besar. Orang lain yang menuntut bayaran besar di awal pun saya rasa tidak pernah mendapatkan kenaikan sebesar ini, apalagi untuk fresh graduated. Lagi-lagi, saya merasa telah menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini.

Sebenarnya ada begitu banyak lahan pekerjaan yang bisa membuat saya tidak merasakan overtime yang berlebihan. Namun saya kembali berpikir, mengapa saya harus pulang Teng-Go di usia 20 tahun? Apa dengan bekerja Teng-Go skill saya akan sama dengan ketika bekerja lebih lama? Ada banyak alasan untuk menjawab tidak. Bobot pekerjaannya sudah pasti berbeda dan portfolio akan menjawab semuanya. Di pikiran saya, tidak apa sekarang gaji pas-pasan, yang penting tidak ada kebodohan di masa depan, kan?

Oh ya, yang terparah, jangan sampai bekerja untuk gaji yang besar tetapi dengan mengesampingkan passion. Bekerja di luar passion itu tidak menyenangkan sama sekali, yang ada malah jadi bekerja setengah hati.



Jadi gimana, uang banyak atau pengalaman?
Itu pilihan kamu.



TLR
Ramadan day 9
Working for passion, skill and experience.