Saturday, January 31, 2015

Saya Mau Jadi Anak Ahensi - Part 2

Desember 2014.

Bulan November telah usai, 2014 pun juga hampir usai. November lalu terasa begitu penuh buatku, terutama di bulan November bagian akhir. Banyak sekali kejadian yang tak terduga dan semua begitu terasa nano-nano. Sedikit bocoran, November 2014 buat saya adalah tentang pitching, wisuda kedua kalinya yaitu wisuda sarjana, dan proses untuk mencapai mimpi.

Masih ingat tulisan saya yang ini --- Saya Mau Jadi Anak Ahensi - Part 1? Kelanjutan tulisan saya ini ternyata terjadi di bulan November. Desember 2013 saya bilang kalau saya akan kembali ke dunia ahensi di sekitar bulan Agustus-September 2014. Tapi kenyataan berkata lain. Di bulan-bulan tersebut saya masih saja disibukan dengan skripsi sarjana saya. Bolak balik bimbingan skripsi kesana kemari, revisi yang tak kunjung usai, pekerjaan kantor yang semakin menggila, plus saya harus lembur sampai tengah malam. Berkali-kali saya berusaha mencari tombol escape karena tidak yakin kalau seluruhnya akan terlewati dengan baik, tapi tombol itu tak pernah ditemukan. Bayangkan saja bagaimana rasanya ketika pekerjaan kantor datang tanpa henti, kemudian malamnya saya harus pergi bimbingan, dan parahnya, PR bimbingan saya belum benar-benar selesai. Meski pergi bimbingannya pukul setengah delapan malam, tapi saya bener-bener merasa akan melarikan diri dari kantor, meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya harus dikerjakan. Padahal sebenarnya di pukul setengah enam saya sudah terbebas dari pekerjaan dan boleh beranjak pulang. Yah gimana, nasib kerja di Event Organizer kan begitu. Over time dan tanpa uang lembur, tanpa dapat makan malam pula. Oke, yang terakhir itu untung-untungan. Makanya, sejujurnya dari lubuk hati saya yang paling dalam, saya gemes banget kalau lihat anak-anak yang hanya punya satu okupasi --- mahasiswa aja maksudnya, tapi skripsinya nggak selesai-selesai, padahal mereka nggak harus banting tulang untuk mengumpulkan pundi-pundi keuangan. Terus karena terlambat lulus, uang semesterannya harus dibayarkan ekstra sama orangtuanya. Kenapa miris banget?

29 November lalu saya diwisuda. Tombol escape yang nggak pernah saya temukan itu memang seharusnya nggak pernah saya temukan, karena tombol escape hanya muncul untuk yang lemah, semacam loser. Meskipun banyak kecacatan dalam wisuda saya kemarin, but overall, saya bangga, bangga sekali. Jerih payah selama 6 bulan terakhir ini akhirnya terbayar juga, saya bisa mengikuti wisuda untuk yang kedua kalinya. Kuliah empat tahun, wisuda dua kali, di umur 20 dan 21 tahun. Terus pas lulus statusnya sudah bukan fresh graduated lagi, tapi sudah dengan pengalaman pekerjaan selama 1 tahun sebagai full time creative designer. Yaampun, kalau dirujuk ke postingan-postingan blog ini seperti Postingan Tahun 2010 dan Postingan Tahun 2012, saya udah nggak punya lagi alasan untuk jadi orang yang nggak bersyukur. Saya cinta, cinta sekali dengan hidup saya, meski dalam urusan percintaan, mungkin saya yang terpayah :)) #Intermezzo.

Selain menawarkan cerita tentang wisuda, di akhir bulan November ini saya baru sempat mencoba peruntungan kembali untuk masuk ke dalam dunia ahensi. Bukan sekadar mencoba peruntungan tentunya, tapi mencoba kembali meraih mimpi yang sempat tertunda selama satu tahun.



Sampul CV Talita Leoni Rizkitysha 2015

Dua kata, naik kelas. Saya antarkan CV saya ke beberapa tempat, dan tentu saja dengan fasilitas surat elektronik. Saya yang bisa dibilang sebagai yesterday afternoon child ini tentu nggak pernah membayangkan kalau ternyata ahensi yang akan manggil saya adalah salah satu multinational agency di Indonesia, yang kantornya juga berada di gedung-gedung perkantoran megah di bilangan Jakarta Selatan. Dan yang lebih nggak pernah saya bayangkan adalah saya yang dipanggil di sana sebagai art director. MEEEN, banyak gaya banget anak umur dua satu ngeapply jadi art director! Dan benarlah, saat di-challenge untuk mengonsep sebuah iklan televisi, saya agak banyak bingung di awal, karena di saat itu pula, tepat di depan sang creative director, saya harus mengeluarkan ide-ide gila saya. Akan tetapi karena saya yang minim akan pengalaman menjadi art director, ide yang saya keluarkan ya begitu saja, bukan sesuatu yang oh-my-God-that-is-a-great-idea. 

Creative director di sana bilang kalau desain saya bagus, bagus banget. Dia merekomendasikan saya untuk jadi graphic designer di sana kepada sang HRD. Wah, saya seperti melihat ada secercah harapan untuk menjadi bagian dari mereka. Saya sudah membayangkan kalau, "Wah, Talita, fresh graduated in Bachelor degree with one year working experience, sekarang jadi anak ahensi di multinational company lagi, terus klien-kliennya dari luar negeri." Ya, saya hanya anak ingusan yang hobi sekali ngayal. Saya ngayal terlalu jauh, karena pada kenyataannya, untuk saat itu di sana belum membutuhkan graphic designer. Mereka bilang, mungkin di awal tahun, di saat pekerjaan sedang datang banyak-banyaknya, ada posibilitas untuk mereka panggil saya lagi :') 

Sebelum saya kembali ke kantor, sang HRD berpesan pada saya untuk segera mengambil kursus bahasa inggris, karena di ahensi, setidaknya ada satu dua orang ekspatriat. Dan pesan lainnya adalah saya harus berlatih untuk berpikir kreatif dengan membuat personal project. Mungkin bisa berupa kampanye sosial yang problematikanya diangkat dari masalah-masalah di Jakarta. 

Sepulangnya dari sana, tentunya ada perasaan kecewa di dalam hati kecil saya. Tapi di sepanjang perjalanan menuju kembali ke kantor, saya begitu bangga atas diri saya sendiri, mengingat satu tahun yang lalu, kantor-kantor yang memanggil saya untuk interview adalah bukan berasal dari ranah advertising agency. Sedikit nggak nyangka aja, ternyata portfolio saya bisa tembus ke dunia ahensi. Yang tadinya saya meragukan kalau saya akan berkembang di kantor saya sekarang yang merupakan event organizer, ternyata saya telah salah menilai. Desain saya bukannya downgrade, malah jadinya berkembang pesat. Begitupun dengan cara saya mendevelop sebuah konsep. Jam kerja yang jauh lebih banyak daripada teman-teman seprofesi saya ternyata cukup mempengaruhi portfolio saya. Yaaa, ternyata Tuhan memang lebih mengetahui mana yang terbaik untuk kita, kan?

No comments: